Prinsip Dasar SSO
Oleh :
NAMA : ABULKHAIR ABDULLAH
NIM : 70100111001
KELAS : FARMASI A1
JURUSAN
FARMASI
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat semoga tetap
tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada
umatnya hingga akhir zaman.
Pertama-tama kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen, dengan
kegigihan dan keikhlasannya membimbing kami sehingga kami bisa
mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami tidak ketahui. Juga
tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah ini kami buat
dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Samata,
8 Desember 2013
Penyusun
BAB I
PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem
yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis
yang kerjanya saling berlawanan. Memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf otonom berguna
memperkirakan efek farmakologi obat-obatan baik pada sistem saraf simpatis
maupun parasimpatis.[1]
Sistem saraf
simpatis dimulai dari medula spinalis segmen torakolumbal. Saraf dari sistem saraf parasimpatis
meninggalkan sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial III, VII, IX dan X
serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga; kadangkala saraf sakral pertama dan keempat. Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf
parasimpatis didominasi oleh nervus vagus
(saraf kranial X). Sistem
saraf simpatis dan parasimpatis selalu aktif dan aktivitas basalnya diatur oleh
tonus simpatis atau tonus parasimpatis. Nilai tonus ini yang menyebabkan
perubahan-perubahan aktivitas pada organ yang dipersarafinya baik peningkatan
maupun penurunan aktivitas.[2]
Refleks
otonom adalah refleks yang mengatur organ viseral meliputi refleks otonom kardiovaskular, refleks otonom gastrointestinal,
refleks seksual, refleks otonom lainnya meliputi
refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan kandung empedu, ekskresi urin pada ginjal,
berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan sebagian
besar fungsi viseral lainnya.[3]
Sistem
parasimpatis biasanya menyebabkan respon setempat yang spesifik, berbeda dengan
respon yang umum dari sistem simpatis terhadap pelepasan impuls secara masal, maka fungsi pengaturan sistem parasimpatis sepertinya
jauh lebih spesifik.[4]
A.
Prinsip
Dasar Obat-Obat Susunan Saraf Otonom
Fungsi
organ-organ tubuh dikontrol dan diintegrasikan oleh sistem saraf dan sistem
endokrin. Secara umum kedua sistem ini mempunyai sifat yang hampir sama, yaitu
mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses di bagian tubuh yang
letaknya jauh dan mekanisme umpan balik negatifnya juga mempunyai arti penting.
Perbedaan utama antara sistem saraf dengan sistem endokrin adalah dalam hal
metode hantaran informasinya. Pada sistem endokrin, sebagian besar hantaran
adalah bersifat kimiawi melalui hormon-hormon yang dibawa oleh aliran darah.
Pada saraf, hantaran informasinya dialirkan dengan aliran listrik dengan cepat
melalui serabut-serabut saraf, yang dilanjutkan oleh hantaran kimia (yang
disebut neurotransmitter) antara
sel-sel saraf dan antara sel saraf dengan sel efektor. Kedua sistem ini bekerja
sendiri-sendiri (involuntary) dan
tidak dipengaruhi secara langsung oleh kesadaran atau kehendak. obat-obat
otonom adalah obat-obat yang bekerja mempengaruhi SSO atau mempengaruhi reseptor-reseptor
otonom pada sel-sel efektor yang dikontrol oleh SSO.[5]
Obat-obat otonom
dapat memacu (agonis) atau menghambat
(antagonis) fungsi sistem saraf
otonom. Mempelajari anatomi, fisiologi, dan biokimia SSO merupakan hal yang
sangat penting untuk dapat mengerti dan memahami farmakologi obat-obat otonom.[6]
B.
Anatomi
Sistem Saraf Otonom
Saraf yang mengontrol dan mengkoordinasikan
fungsi-fungsi fisiologis tubuh manusia dibedakan atas 2 divisi utama:[7]
1.
Sistem saraf pusat (SSP) terdapat
dalam otak dan Medula spinalis dan
2.
Sistim saraf perifer yang memperantarai
antara SSP dengan lingkunganr eksternal dan internal.
Gambar 1.
Organisasi saraf
dalam tubuh manusia.
Neuron-neuron eferen SSO mempersarafi otot
polos dan otot jantung, kelenjar, dan organ-organ dalam lain. Tidak seperti saraf somatik, SSO
dibedakan atas saraf simpatetik (adrenergik) dan saraf parasimpatetik
(cholinergic).[8]
Neuron-neuron saraf simpatetik berasal dari region
torakal dan lumbal (disebut juga divisi
torako-lumbal), dan neuron-neuron saraf parasimpatetik berasal dari daerah
batang otak atau dari daerah sacral (disebut juga divisi kranio-sakral). Serat saraf dari sentral ke ganglion disebut
serat preganglion, dan dari ganglion
ke organ-organ disebut serat posganglion.
Serat saraf preganglion simpatetik pendek, dan berakhir di ganglion yang
terletak dekat Medula Spinalis; sedangkan serat posganglion simpatetik panjang
berakhir di organ. Sebaliknya serat saraf preganglion parasimpatetik panjang
dan berakhir di ganglion yang letaknya dekat atau di dalam organ
target; dan serat posganglionnya pendek.[9]
Impuls dalam parasimpatis ( kranio-sakral)
berasal dari batang otak melalui nervus-nervus III, VII, XI, X dan Nervi erigentes
ke sel intermediolateral segmen II dan IV bagian sacral medulla spinalis.
Impuls simpatis (torakolumbal) berasal dari sel intermediolateral medula
spinalis semua segmen torakal dan segmen lumbal I, II, dan III.[10]
Serabut saraf preganglion langsung mempersarafi
Medula adrenal tanpa sinaps di ganglion, akan menyebabkan rilisnor-epinefrin
(NE) dan epinefrin (E) langsung ke sirkulasi darah.[11]
Biasanya kedua simpatis dan
parasimpatis mengirimkan informasi ke tempat target yang sama.
Terdapat pengecualian pada medula
adrenal, kelenjar keringat, lien, dan folikel-folikel rambut, yang hanya
dipersarafi oleh saraf simpatetik saja. Terapi dengan obat kadang-kadang
merusak kesimbangan kritik ini, seperti pada pemblokiran parasimpatis dan
aktivitas saraf simpatik tidak lawan. Pengetahuan tentang efek-efek fisiologik
dapat memprediksikan apa yang terjadi pada pemakaian obat otonom.[12]
Perangsangan saraf somatic menghasilkan aktivitas
tunggal kontraksi otot, tetapi perangsangan saraf otonom menghasilkan aktivitas
yang lebih kompleks. Umumnya dapat dikatakan bahwa saraf simpatis dapat berupa suatu
respon-aktivitas, dan saraf parasimpatis sebagai homeostatik-vegetatif.[13]
1.
Anatomi sistem saraf
simpatis
Sistem saraf simpatis
dimulai dari medulla spinalis segmen torakolumbal (torak 1 sampai lumbal 2). Serabut-serabut
saraf ini melalui rangkaian paravertebral simpatetik yang berada disisi lateral
korda spinalis yang selanjutnya akan menuju jaringan dan organ-organ yang dipersarafi
oleh sistem saraf simpatis. Tiap saraf dari
sistem saraf simpatis terdiri dari satu neuron preganglion dan saraf
postganglion. Badan sel neuron preganglion berlokasi di intermediolateral dari
korda spinalis. Serabut saraf simpatis vertebra ini kemudian meninggalkan korda
spinalis melalui rami putih menjadi salah satu dari 22 pasang ganglia dari
rangkaian paravertebral simpatik.[14]
Ganglia prevertebra yang
berlokasi di abdomen dan pelvis, terdiri dari ganglia coeliaca, ganglia aoarticorenal,
mesenterica superior dan inferior.Ganglia terminal berlokasi dekat dengan organ
yang disarafi contohnya vesica urinaria dan rektum.[15]
Berdasarkan letaknya,
ganglia simpatetik digolongkan menjadi:[16]
a.
Ganglia servikalis,
terdiri dari 3 ganglia yaitu:
-
ganglia servikalis
superior,
-
ganglia servikalis media,
dan
-
ganglia servikalis
inferior.
b.
Ganglia thorakalis
c.
Ganglia lumbalis
Jaras simpatis yang berasal dari berbagai segmen medula
spinalis tak perlu didistribusikan ke bagian tubuh yang sama
seperti halnya saraf-saraf spinal somatik dari segmen yang sama. Serabut-serabut
saraf dari sistem saraf simpatis tidak menginnervasi bagian-bagian tubuh
sesuai dengan sifat- sifat khusus ujung
saraf simpatis dalam medula
adrenal.[17]
Serat saraf preganglionik simpatis berjalan tanpa mengadakan
sinaps, melalui jalan-jalan dari seluruh jalan dari kornu intermediolateral
medula spinalis, melalui rantai simpatis, kemudian melewati rantai splanknikus
dan berakhir di medula adrenal. Di medula adrenal, serat-serat saraf ini
langsung berakhir pada sel-sel neuron khusus yang mensekresikan epinefrin dan
norepinefrin kedalam aliran darah. Secara embriologi, sel-sel sekretorik ini
berasal dari jaringan saraf dan analog dengan neuron postganglionik, bahkan
sel-sel ini masih mempunyai serat-serat saraf yang rudimenter, dan serat –serat
inilah yangmensekresikan hormon-hormon.[18]
2.
Anatomi sistem saraf
parasimpatis
Saraf dari sistem saraf
parasimpatis meninggalkan sistem saraf pusat melalui saraf-saraf kranial
III,VII, IX dan X serta saraf sakral spinal kedua dan ketiga; kadangkala saraf
sakral pertama dan keempat. Kira-kira 75% dari seluruh serabut saraf
parasimpatis didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X) yang melalui daerah
torakal dan abdominal, seperti diketahui nervus vagus mempersarafi jantung,
paruparu, esophagus, lambung, usus kecil, hati, kandung kemih, pankreas, dan bagian
atas uterus.Serabut saraf parasimpatis nervus III menuju mata, sedangkan
kelenjar air mata,hidung,dan glandula submaksilla menerima innervasi dari saraf
kranial VII, dan glandula parotis menerima innervasi dari saraf kranial IX.
segmennya. Sebagai contoh, serabut yang berasal dari torakal 1 biasanya
melewati rangkaian paravertebral simpatik naik kedaerah kepala, torakal 2 untuk
leher, torakal 3 sampai torakal 6 untuk dada, torakal 7 sampai torakal 11 ke
abdomen dan torakal 12, lumbal 1 sampai lumbal 2 ke ekstremitas inferior.
Pembagian ini hanya kurang lebih demikian dan sebagian besar saling tumpang
tindih.[19]
Gambar 2. Diagram skematis
simpatikus dan parasimptikus. Sebelah kanan adalah sistem simpatis dan sebelah
kiri sistem parasimpatis, berikut dengan organ-efektor yang
dipersarafinya.
Sistem saraf parasimpatis daerah
sacral terdiri dari saraf sakral II dan III serta kadang-kadang saraf sakral I
dan IV. Serabut -serabut saraf ini mempersarafi bagian distal kolon,rektum,
kandung kemih, dan bagian bawah uterus, juga mempersarafi genitalia eksterna
yang dapat menimbulkan respon seksual. Berbeda dengan sistem saraf simpatis, serabut
preganglion parasimpatis menuju ganglia atau organ yang dipersarafi secara
langsung tanpa hambatan. Serabut postganglion saraf parasimpatis pendek karena
langsung berada di ganglia yang sesuai, ini berbeda dengan sistem saraf
simpatis, di mana neuron postganglion relatif panjang, ini menggambarkan
ganglia dari rangkaian paravertebra simpatis yang berada jauh dengan organ yang
dipersarafinya.[20]
C.
Fisiologi sistem
saraf otonom
Serat-serat saraf simpatis
maupun parasimpatis mensekresikan salah satu dari kedua bahan transmiter sinaps
ini, asetilkolin atau norepinefrin. Serabut postganglion sistem saraf simpatis
mengekskresikan norepinefrin sebagai neurotransmitter. Neuron- neuron yang
mengeluarkan norepinefrin ini dikenal dengan serabut adrenergik. Serabut
postganglion sistem saraf parasimpatis mensekresikan asetilkolin sebagai
neurotransmitter dan dikenal sebagai serabut kolinergik. Sebagai tambahan
serabut postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa pembuluh
darah juga melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmitter. Semua saraf
preganglion simpatis dan parasimpatis melepaskan asetilkolin sebagai
neurotransmitter karenanya dikenal sebagai serabut kolinergik. Sedangkan
asetilkolin yang dilepaskan dari serabut preganglion mengaktivasi baik
postganglion simpatis maupun parasimpatis.[21]
Trasmisi di ganglion dan antara ganglion
dan sel-sel efektor diperantarai oleh zat kimia yang disebut neurotransmitter.
Neurotransmitter yang utama adalah: NE, E, dopamine, dan asetilkolin (Ach).
Karena fungsi-fungsi fisiologik ke dua biasanya berlawanan, sehingga dengan
demikian persarafan ganda (simpatis dan parasimpatis) menyeimbangkan efek-efek
fisiologik.[22]
Efek fisiologik utama α dan β adrenergik adalah:[23]
-
Vasokontriksi,
-
Vasodilatasi,
-
Meningkatkan frekuensi denyut jantung,
-
Peningkatan kekuatan kontraksi jantung,
-
Peningkatan kecepatan konduksi dalam
jantung,
-
Relaksasi otot polos bronkus,
-
Relaksasi otot polos saluran cerna,
-
Kontraksi sfingter,
-
Dilatasi pupil dan relaksasi otot ciliare mata,
-
Peningkatan sekresi kelenjar keringat,
-
Penurunan sekresi pancreas, dan
-
Pengentalan sekresi kelenjar ludah.
Termasuk obat-obat yang mempengaruhi fungsi-fungsi
ini adalah agonis adrenergik dan antagonis ganglionic blocking agent.
1.
Neurotransmiter
Hantaran informasi
pada saraf terjadi dengan penjalaran impul-impul dalam sel saraf dan
diteruskan dengan rilis (release) neurotransmiter dari ujung
saraf ke celah-celah sinaps antarsel dan antara sel saraf dan sel efektor.
Neurotransmitter ini akan berdifusi dan berikatan dengan molekul reseptor
khusus pada sel pasca sinaps, yang akan mengaktifkan atau mengahambat aktivitas
sekl efektor.[24]
Berdasarkan
jenis neurotransmitter utama yang dibebaskan pada ujung saraf otonom, serat
saraf otonom dibedakan atas serat kolinergik yang merilis asetilkolin (Ach) dan
serat adrenergik yang membebaskan noradrenalin
(norepinefrin dan NE) sebagai neurotransmitter. Terdapa bukti-bukti bahwa beberapa serat saraf
perifir simpatis juga membebaskan dopamin.[25]
Medula adrenal berisi sel-sel kromafin, yang secara embriologik homolog
dengan ganglion simpatis, diturunkan dari neural
crest. Sel-sel kromafin pada medula adrenalini dipersarafi oleh ujung saraf
preganglionik simpatis khusus dengan neurotransmiter Ach. Sel
sel kromafin medula adrenal ini membebaskan campuran epinefrin dan nor-epinefrin
(NE) ke dalam darah. Akhir-akhir ini juga diketahui bahwa sebagian besar saraf
otonom juga membebaskan beberapa substansi transmitter (co-transmitter) sebagai
pelengkap dari transmiter utama.[26]
2.
Transmiter
dan reseptor
Semua ujung saraf preganglionik adalah kolinergik,
artinya yang membebaskan asetilkolin (Ach). ACh bekerja pada reseptor Ach-kolinoseptor
pada badan sel posganglion atau dendrite untuk membangkitkan transmisi. Demikian
juga semua ujung saraf posganglion arasimpatis adalah kolinergik (yang
membebaskan Ach), Ach kemudian bekerja pada reseptor Ach-kolinoseptor pada sel-sel efektor (yaitu otot polos, otot jantung
dan kelenjar).[27]
Gambar
3.
Proses biokimia pada ujung saraf kolinergik dan adrenergik. Gambar di atas
menunjukkan bahwa monoamine oksidase (MAO)
berada di intrasel sehingga secara teratur sebagian NE mengalami deaminasi di
ujung saraf adrenergik. Katekol-O-metiltransferase (COMT) bekerja pada NE yang
telah disekresikan. (Ach, asetilkolin; AchE, asetilkolinesterase).
3.
Efek
Aktivasi Saraf Otonom
Secara umum dapat dikatakan bahwa parasimpatis
bersifat konservasi dan reservasi tubuh, atau disebut fungsi rest and digest. Parasimpatis mengatur
fungsi-fungsi vital dalam tubuh. Sedangkan simpatis berfungsi untuk
mempertahankan tubuh terhadap gangguan dari luar tubuh dengan rekasi berupa perlawananatau pertahanan diri yang dikenal
sebagai fight or flight reaction.[29]
4.
Transmisi
Kolinergik
Pada ujung-ujung saraf kolinergik terdapat
vesikel-vesikel besar (letaknya agak jauh dari membrane sinaps dan berisi lebih
banyak peptide yang berfungsi sebagai co-transmitter) dan vesikel kecil (lebih banyak berisi
Ach). Vesikel-vesikel ini disintesa di bagian soma neuron dan ditransfer ke
bagian terminal neuron dan vesikel-vesikel ini juga ada yang didaur ulang
beberapa kali dalam terminal. Ach disintesis dalam sitoplasma dari acetyl-CoA
(disintesis di mitochondria) dan choline dengan katalisator choline
acetyltransferase (ChAT). Choline
diperoleh dari cairan ekstraselular dan ditransfer ke dalam sel oleh pembawa
pertama yang disebut Natrium-dependent carrier dan transfer ini dapat dihambat oleh Hemicholenium
(analog ACh). ACh yang terbentuk dalam sitoplasma ditransfer ke dalam
vesikel oleh pembawa kedua antiporter carrier
yang mengubah proton-proton. Transfer
ini dapat dihambat oleh vesamicol.[30]
5.
Transmisi
Adrenergik
Dalam terminal neuron adrenergik tyrosine (prekurson dopamine) ditranspor
dari ekstraselular ke dalam sel oleh pembawa Natrium-dependent carrier (A). Dengan bantuan enzim Tyrosine hydroxylase, tyrosine intrasel ini diubah menjadi dopamine. Aktivitas enzim Tyrosine hydroxylase dapat dihambat oleh
Metyrosine. Dopamine yang terbentuk
ditranspor ke dalam tempat penyimpanannya di vesikel oleh pembawa kedua (B)
yang dapat dihambat oleh Reserpin.[31]
Pembawa yang sama mentransfer norepinephrine
(NE) dan beberapa amine lainnya ke dalam
granula-granula ini. Dalam vesikel, dopamine dikonversi menjadi NE oleh
dopamine-β- hydroxylase. Bila terdapat aksi potensial yang membuka
kanal-kanal Ca yang sensitive voltase dan meningkatkan kadar kalsium
intraseluler. Selanjutnya penyatuan (fusi) membrane vesikel dengan membrane
permukaan sel menimbulkan ekspulsi norepinephrine (NE), Co-transmitter, dan dopamine β- hydroxylase.[32]
Norpinefrin dan epinefrin dapat dimetabolisme oleh
beberapa enzim, seperti: catechol-O-methyltransferase (COMT) dan monoamine
oxidase (MAO).[33]
6.
Integrasi Fungsi Otonom
Integrasi fungsional terjadi melalui mekanisme umpan
balik negatif (negative feedback mechanism). Proses ini mempergunakan reseptor prasinaps pada tingkat
local dan refleks homeostatic pada tingkat sistemik. Pada farmakologi otonom,
refleks yang terpenting adalah refleks-refleks yang mengatur tekanan darah. Hal
ini harus selalu diingat dalam menganalisis efek obat-obat yang bekerja pada
jantung dan pembuluh darah. Ini memadukan refleks-refleks saraf baroreseptor dengan refleks-refleks
hormonal rennin-angiotensin-aldosteron.
Control umpan balik lain didapatkan pada beberapa ujung saraf. Kontrol yang
paling dikenal ialah umpan balik negative NE terhadap rilis NE di ujung saraf
pasca sinaps neuron adrenergik. Efek ini tampaknya diperantarai oleh reseptor
β2.[34]
D.
Refleks Otonom
1.
Refleks otonom
kardiovaskular
Ada beberapa refleks dalam
sistem kardiovaskular yang terutama membantu mengatur tekanan darah arteri dan frekuensi
denyut jantung. Salah satu refleks ini adalah refleks baroreseptor,
secara kasar reseptor regang yang disebut baroreseptor terletak di dalam
dinding arteri besar, termasuk arteri karotis dan aorta.[35]
2.
Refleks otonom
gastrointestinal
Bagian teratas dari traktusgastrointestinal
dan juga rektum terutama diatur oleh refleks otonom.[36]
3.
Refleks otonom
lainnya
Pengosongan kandung kemih
caranya mirip dengan pengosongan rektum, peregangan kandung kemih menyebabkan
timbulnya impuls ke medula spinalis, dan keadaan ini menyebabkan refleks
kontraksi kandung kemih dan relaksasi sfingter urinaria, sehingga mempermudah
engeluaran urin.[37]
Refleks otonom lainnya meliputi
refleks yang membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas, pengosongan kandung
empedu, ekskresi urin pada ginjal, berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan
sebagian besar fungsi viseral lainnya.[38]
Sistem
simpatis seringkali member respon terhadap pelepasan impuls secara missal. Pada kebanyakan kasus, impuls yang dikeluarkan oleh sistem saraf simpatis hampir merupakan suatu unit yang sempurna, fenomena ini disebut pelepasan impuls masal (mass discharge). Serat vasodilator kolinergik spesifik pada otot skelet akan
terangsang secara tersendiri,
terpisah dari sistem simpatis
lainnya.[39]
Sebagian besar refleks simpatis yang mengatur fungsi gastrointestinal mempunyai ciri tersendiri, yang kadangkala bekerja melalui jaras saraf namun tidak memasuki medula spinalis, hanya berjalan dari usus jalan ke ganglia simpatis, terutama di ganglia prevertebral, dan kemudian kembali ke usus melalui saraf saraf simpatis guna mengatur aktivitas motorik atau sekretorik.
Bila sebagian besar daerah sistem saraf simpatis melepaskan
impuls pada saat yang bersamaan, yakni yang disebut pelepasan impuls secara
missal, maka dengan berbagai cara keadaan ini akan meningkatkan kemampuan tubuh
untuk melakukan aktivitas otot yang besar.[40]
Marilah kita meringkaskan kejadian ini :[41]
a.
Peningkatan tekanan arteri.
b.
Peningkatan aliran darah
untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ,
seperti traktus gastro intestinal dan ginjal, yang tidak diperlukan untuk
aktivitas motorik yang cepat.
c.
Peningkatan kecepatan metabolism
sel di seluruh tubuh.
d.
Peningkatan konsentrasi
glukosa darah.
e.
Peningkatan
prosesglikolisis di hati dan otot.
f.
Peningkatan kekuatan otot.
g.
Peningkatan aktivitas
mental.
h.
Peningkatan kecepatan
koagulasi darah.
Seluruh efek diatas menyebabkan orang tersebut dapat
melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih besar bila tidak ada efek di atas.
Oleh karena stres fisik atau mental biasanya akan menggiatkan sistem simpatis,
maka seringkali keadaan tersebut dianggap merupakan tujuan dari sistem simpatis
untuk menyediakan aktivitas tambahan tubuh pada saat stres, keadaan ini sering
disebut respons stress simpatis. Sistem simpatis terutamateraktivasi dengan
kuat pada berbagai keadaan emosi.[42]
E.
Penggolongan
Obat-Obat Otonom
Menurut efek utamanya, obat otonom dapat dibagi atas
5 golongan:[43]
a.
Sifat kolinergik atau parasimpatomimetik
Gambar
4.
Mekanisme pengikatan neurotransmitter yang menimbulkan efek intraseluler.
b.
Adrenergik atau simpatomimetik
Memberikan efek yang mirip
aktivitas simpatis.
c.
Antikolinergik atau parasimpatolitik
Memberikan efek penghambatan
terhadap timbulnya aktivitas parasimpatik.
d.
Antiadrenergik atau simpatolitik
Memberikan efek penghambatan terhadap timbulnya
aktivitas simpatis.
e.
Obat ganglion
Memberikan efek perangsangan atau penghambatan
penerusan impuls di ganglion.
\
BAB II
INTEGRASI DENGAN AYAT
خَاطِئَةٍ كَاذِبَةٍ نَاصِيَةٍ
Dalam
beberapa penafsiran, nasiyah ditafsirkan sebagai ubun-ubun. Ubun-ubun, dalam
ilmu fisiologi manusia kerap dipadankan dengan otak depan atau lobus frontal. Samsoe Bassaroedin, salah seorang
anggota Tim Diskusi Tafsir Ilmiah berpendapat bahwa nasiyah merupakan pusat
kesadaran, baik kehendak jahat maupun kehendak baik.
Menurut
Kusnandar, bagian otak yang tepat di bawah ubun-ubun adalah bagian dari sistem
kendali atau sistem saraf. Sistem kendali bertanggung jawab mempertahankan homeostasis atau kesetimbangan dinamis tubuh.
Jadi, jika ada perubahan dalam tubuh, sistem kendali akan mengembalikan keadaan
tubuh menjadi setimbang.
Secara
anatomis, sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer (tepi). Sistem saraf
pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Sementara sistem saraf tepi
terdiri dari saraf kranial, saraf spinal, dan ganglia. Secara fungsional, kita dapat membagi
sistem saraf ke dalam dua kategori, sensorik dan motorik. Sistem saraf sensorik
membawa impuls ke sistem saraf pusat. Sedangkan sistem saraf motorik membawa
impuls dari sistem saraf pusat ke alat-alat indra.
DAFTAR PUSTAKA
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/SARAF.pdf
Iwan Dwi Cahyono, dkk. 2009. Neurotransmitter dalam
Fisiologi Saraf Otonom. Semarang.
Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed. 2. Jakarta :
EGC
[5] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 327
[6] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 327
[7] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 327-328
[8] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 328
[9] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 328
[10] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 328
[11] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah Farmakologi
Ed. 2,
Jakarta, 2008, hal. 328
[12] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 328-329
[13] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 329
[19] Iwan Dwi Cahyono, dkk, Neurotransmitter
dalam Fisiologi Saraf Otonom, Semarang,
2009 hal. 45-46
[22] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[23] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[24] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[25] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[26] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[27] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330
[28] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 330-331
[29] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 333
[30] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 333
[31] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 334
[32] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 334
[33] Staf Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 334
[34] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 335
[39] Iwan Dwi Cahyono, dkk, Neurotransmitter
dalam Fisiologi Saraf Otonom, Semarang,
2009 hal. 53-54
[43] Staf
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, Kumpulan Kuliah
Farmakologi Ed. 2, Jakarta, 2008, hal. 336-337
Tidak ada komentar:
Posting Komentar