Oleh:
Oleh:
Kelompok III
Abulkhair Abdullah 70100111001
Dina Dhaifina Anas 70100111023
Hafizhati Az Zahra 70100111028
Hasriani 70100111034
Ilham Aridani 70100111037
Indri Rezki
Wahyuni 70100111039
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA – GOWA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan
makalah ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat semoga
tetap tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan
kepada umatnya hingga akhir zaman.
Pertama-tama kami mengucapkan terima
kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan keikhlasannya membimbing
kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya
kami tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini kami buat dengan
sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, kami
berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Samata, 26
Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan
Makalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Obat......................................................................................................... 2
B.
Penelitian dan Pengembangan Obat............................................................ 2
C.
Uji Praklinik.............................................................................................. 4
1.
Sintesis dan Skrining molekul.............................................................. 4
2.
Studi pada hewan percobaan.............................................................. 5
D.
Uji Klinik.................................................................................................. 6
1.
Uji Klinik Fase I................................................................................. 7
2.
Uji Klinik Fase II............................................................................... 8
3.
Uji Klinik Fase III.............................................................................. 8
4.
Uji Klinik Fase IV.............................................................................. 9
E.
Komponen Uji Klinik.............................................................................. 10
1.
Seleksi/Pemilihan Subjek.................................................................. 11
2.
Rancangan Uji Klinik........................................................................ 11
3.
Jenis
Perlakuan Atau Pengobatan Dan Pembandingnya..................... 12
4.
Pengacakan
(Randomisasi) Perlakuan............................................... 13
5.
Besar Sampel................................................................................... 14
6.
Penyamaran/Pembutaan
(Blinding)................................................... 15
7.
Analisis
dan interpretasi data............................................................. 16
F.
Tujuan Penelitian dan Pengembangan Obat.............................................. 17
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................. 18
B.
Saran...................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mungkin sudah tidak asing lagi bahwa
pengembangan obat baru memerlukan waktu yang sangat panjang dan biaya yang
benar-benar tidak sedikit. Tetapi selama kurun waktu yang bisa mencapai belasan
tahun.
Industri farmasi merupakan salah satu
industri farmasi yang mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian dan
pengembangan. Dari data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi
membelanjakan tidak kurang dari US$ 100 Miliar per tahun untuk penelitian dan
pengembangan. Dana terbesar terutama digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar
40%.
Proses penemuan obat baru merupakan
langkah yang sangat panjang dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena
itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai penelitian dan pengembangan obat.
B. Rumusan
Masalah
Pada makalah ini, akan dibahas
mengenai bagaimana penelitian dan pengembangan pada obat.
C. Tujuan
Makalah
Tujuan dibuatnya makalah ini ialah untuk memberikan
informasi tentang bagaimana sebenarnya penelitian dan pengembangan dari suatu
obat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Obat
Obat adalah benda atau zat yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau mengubah proses kimia dalam tubuh.
Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang
dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan,
menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan
badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau
memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk obat tradisional.
Penggolongan obat berdasarkan asal muasalnya ada tiga
yaitu obat yang berasal dari Alam (tumbuhan, hewan, dan mineral), Semi
sintetis, dan Sintetis. Sedangkan berdasarkan cara pemakaiannya, obat dibagi
menjadi dua golongan yaitu obat untuk pemakaian dalam (diminum lewat mulut) dan
obat untuk pemakaian luar (obat dioleskan, ditaburkan atau disuntikan). Selain
itu, berdasarkan bentuk sediaannya, obat dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu
Padat (serbuk, tablet, kapsul, pil), Semi Padat (salep, krim, pasta, lotion),
dan Cair (solutio, potio, suspensi, emulsi). Sedangkan berdasarkan
Undang-Undang, ada yang disebut Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras,
dan Narkotika.
B. Penelitian
dan Pengembangan Obat
Dilahirkan oleh ilmu kimia tetapi perkembangannya banyak
dipengaruhi oleh ilmu farmakologi, penelitian obat memiliki kontribusi yang
sangat besar terhadap perkembangan pengobatan dalam satu abad terakhir.
Penelitian obat seperti yang kita kenal saat ini dimulai ketika ilmu kimia
mencapai tahap kematangan dalam prinsip dan metode yang diaplikasikan untuk
mengatasi masalah diluar ilmu itu sendiri, dan ketika farmakologi berkembang
suatu disiplin ilmu sendiri.
Penelitian obat meliputi beberapa disiplin ilmu yang
berbeda untuk mencapai satu tujuan yaitu pengembangan suatu metode terapi yang
baru. Penelitian obat secara fungsional dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap
penemuan dan pengembangan obat.
Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi
yang mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan.
Dari data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan
tidak kurang dari US$ 100 Miliar per tahun untuk penelitian dan pengembangan.
Dana terbesar terutama digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%.
Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat
panjang dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian
dan pengembangan suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:
1.
Sintesis
dan screening molekul
2.
Studi
pada hewan percobaan
3.
Studi
pada manusia yang sehat (healthy volunteers)
4.
Studi
pada manusia yang sakit (pasien)
5.
Studi
pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar
6.
Studi
lanjutan (post marketing surveillance)
Prinsip
dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan penyakit
serta jika mungkin mencegah timbulnya penyakit. Dalam prinsip dasar ini
tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus melebihi
risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai
secara objektif manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai
metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah
untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik tertentu
dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh yang tidak
dikehendaki baik individual maupun populasi.
C. Uji Praklinik
Uji praklinik, atau disebut juga studi/pengembangan/penelitian praklinik/non-klinik, adalah
tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu
tujuan utama yaitu mengevaluasi keselamatan produk baru.
Ada banyak produk yang menjalani uji
praklinik. Beberapa produk yang paling umum menjalani uji praklinik adalah
obat-obatan, peralatan medis, kosmetik, dan solusi terapi gen. Penting untuk dicatat bahwa obat juga melalui banyak
serangkaian pengujian lainnya ketika menjalani uji praklinik.
Uji Praklinik:
1.
Sintesis dan skrining molekul
Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan
suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi
sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan
senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya
ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif pada
produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan
hal tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut
sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut.
Selain
itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian
tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat
meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara
stabilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi
tentang cara atau metode yang diusulkan dari pemberian obat, seperti juga
melihat kembali literatur tentang formulasi, bioavaibilitas, dan
farmakokinetika dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna bila menentukan
bagaimana mengoptimumkan bioavaibilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu
senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara farmakologis, maka senyawa
tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam bentuk molekul
optimumnya.
Setelah
disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan pengujian
awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3 jenis
hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang
menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan)
dalam upaya ini, umumnya pendekatannya cukup terkontrol berdasarkan struktur
senyawa yang telah diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian
yang melibatkan teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping
pemeriksaan LD50, toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan
persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang
efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
2.
Studi pada hewan percobaan
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi
maupun sintesis) terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini
dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti
sifat farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada
hewan uji.
a.
Uji Farmakodinamika
Penelitian mengenai
aktivitas obat terhadap berbagai fungsi organ tubuh. Dg penelitian ini dapat
diperkirakan efek terapeutiknya, dan bila mungkin dapat diketahui dan
dimengerti mekanisme kerjanya.
b.
Uji Farmakokinetik
Penelitian mengenai
absorpsi, distribusi, metabolisme, biotransformasi dan ekskresi obat dalam
darah dan dalam berbagai jaringan atau cairan tubuh dan urin.
c.
Uji Toksikologi
Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk
mengevaluasi:
1)
Toksisitas
yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
2)
Kerusakan
genetik (genotoksisitas atau mutagensis)
3)
Pertumbuhan
tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)
4)
Kejadian
cacat waktu lahir (teratogenik)
d.
Uji Farmasetika
Memperoleh data farmasetikanya, tentang
formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara
penggunaannya.
D. Uji
Klinik
Setelah melewati uji pra klinis, maka
senyawa atau molekul kandidat calon obat tersebut menjadi IND (Investigasional
New Drug) atau obat baru dalam penelitian. Setelah calon obat dinaytakan
mempunyai kemanfaatan danaman pada hewan percobaan maka selanjutnya diji pada
manusia (uji klinik). Uji pada manusia Uji klinis pada manusia harus diteliti
dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
Uji klinik adalah tes untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan obat atau alat medis dengan memantau efek mereka pada
sekelompok besar orang. Uji klinik adalah salah satu tahapan akhir dari proses
penelitan yang panjang dan hati-hati.
Sebagian besar uji klinik yang
melibatkan pengujian obat baru berlangsung dalam serangkaian langkah-langkah
teratur yang disebut fase. Hal ini memungkinkan peneliti untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan dengan cara yang menghasilkan informasi yang dapat
dipercaya tentang obat dan keselamatan pasien.
Pada dasarnya uji klinik memastikan
efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia
akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase
IV .
1.
Uji Klinik
Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan
efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang
toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik Tujuan
fase ini adalah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi
(maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang
tidak dapat diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya
pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan
ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I
dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar,
dengan jumlah subyek bervariasi antara 20-50 orang.
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka
karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap biasanya belum dapat
diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena
terdapat berbagai factor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya
perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek placebo.
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan placebo; atau bila penggunaan placebo
tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang telah
dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari
siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk
menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan
pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini dsebut uji klinik acak
tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk menentukan
dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut
mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat
obat baru pada fase ini antara 100-200 penderita.
2.
Uji Klinik
Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah melihat
apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal, pengujian efek terapi
obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif,
karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat
yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan
uji klinik komparatif (dengan pembading) yang membandingkannya dengan plasebo;
atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan
dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II
akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien, dan
monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik komparatif ini ,
alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda.
Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup
juga studi kisaran dosis untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan
selanjutnya.
3.
Uji Klinik
Fase III
Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok pembanding:
a.
Cakupan lebih
luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman. Misal : intra ras.
b.
Setelah
terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat-baru
benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II) dan untuk
mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standard. Penelitian ini
sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila
digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2)
efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya
pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat.
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak
terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli,
sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari
dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan
dengan placebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis
ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang
ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini cukup aman
dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan. Jumlah penderita yang
diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.
4.
Uji Klinik
Fase IV
a.
Uji terhadap
obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance)
b.
Memantau efek
samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya
c.
Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
d.
MESO :
Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing
drug surveillance karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah
dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat
serta pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei
ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian; tidak ada ketentuan tentang
pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini
kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan
survey epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektif obat.
Pada fase IV ini dapat diamati:
1)
Efek samping
yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun
lamanya
2)
Efektifitas obat
pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau
usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang
3)
Masalah penggunaan
berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji
klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap
morbiditas dan mortalitas sehingga datanya menentukan status obat yang
bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk
pengembangan suatu obat baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai
dipasarkan, mencapai waktu 10
tahun atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan
secara luas, dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul
sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk
indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini terjadi golongan
salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan anti piretik. Efek
urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan. Hipoglikemik oral juga
ditemukan dengan cara serupa.
E.
Komponen Uji Klinik
Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak
saja didasarkan pada hasil yang diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu
mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi
pelaksanaan suatu uji klinik.
Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa
komponen berikut:
1.
Seleksi/Pemilihan
Subjek
Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas
kriteria-kriteria pemilihan pasien, yakni:
a.
Kriteria
pemasukan (inclusion criteria), yakni
syarat-syarat yang secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk dapat
diikutsertakan dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik
klinis (termasuk gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris, derajat
penyakit (misal ringan, sedang atau berat), asal pasien (hospitalatau
community-based), umur dan jenis kelamin.
b.
Kriteria
pengecualian (exclusion criteria),
merupakan kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek-\subjek
tertentu dalam penelitian.Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian
besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek mengingat
pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding manfaat yang didapat.
Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi terhadap pengobatan/perlakuan uji
juga secara ketat tidak dilibatkan dalam penelitian.
Dalam pemilihan pasien
hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang dipilih benar-benar
merupakan indikasi utama pemakaian obat yang diujikan.
2.
Rancangan
Uji Klinik
Untuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik
perlu disusun rancangan (design) penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan dan
kepentingan pasien.Rancangan uji klinik disini dimaksudkan untukuji klinik fase
III, yang secara garis besar membandingkan dua atau lebih perlakuan/pengobatan untuk
melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru dengan menggunakan
satu atau lebih parameter pengukuran. Dua rancangan uji klinik yang baku dan
umum digunakan yakni rancangan paralel/rancangan antar subjek (Randomized Controlled Trial/RCT-Parallel
Design) dan rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT cross over design).
Berikut dijelaskan secara ringkas kedua jenis rancangan
tersebut:
a.
Rancangan
paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel
design)
Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak
subjek-subjek yang dilibatkan dalam penelitian dibagi dua atau lebih kelompok
pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan harus seimbang
atau sama. Masing-masing kelompok akan memperoleh pengobatan/perlakuan yang
berbeda, sesuai dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil
pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan pengobatan pasien memenuhi
pengacakan kriteria pengobatan.
b.
Rancangan
silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over
design)
Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua
bentuk pengobatan/perlakuan secara selang-seling yang ditentukan secara acak.
Untuk menghindari kemungkinan pengaruh obat/perlakuan yang satu dengan yang
lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out period).
3.
Jenis
Perlakuan Atau Pengobatan Dan Pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan
pembandingnya harus didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu
dicantumkan meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi
pengobatan, waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk
menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan pengobatan,
hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan ketaatan
pasien (patients compliance) serta ketentuan -ketentuan lain yang diberlakukan
selama uji klinik. Sebagai contoh disini adalah jika frekuensi pemberian
terlalu sering (misalnya lebih dari 4 kali/hari) maka kemungkinan ketaatan
pasien juga makin berkurang. Penjelasan lain meliputi obat-obat apa yang boleh
dan tidak boleh diminum selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus
dijelaskan, apakah pembanding positif (obat standard yang telah terbukti secara
ilmiah kemanfaatannya) atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah
obat, dalam arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak
dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal dan serius. Yang
perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pembanding positif hendaknya merupakan
obat pilihan pertama (drug of choice) dari indikasi yang dimaksud. Sebagai
contoh, jika obat baru yang diuji indikasikan untukmengobati tifus abdominalis,
maka pembandingnya (kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice untuk tifus)
4.
Pengacakan
(Randomisasi) Perlakuan
Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan
dalam uji klinik terkendali (randomize-controlledtrial-RCT),
dengan tujuan utama menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum
uji klinik maka, setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang sama
dalam mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain setiap subjek
mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat uji atau pembandingnya.
subjek-subjek yang memenuhi kriteria pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap
kelompok perlakuan, di mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis
seimbang. Dengan adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian
kemanfaatan obat uji dan pembandingnya dapat dijamin seobjektif mungkin.
5.
Besar
sampel
Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan
dalam uji klinik adalah besar sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam
uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu pertimbangan
dalam penentuan jumlah sampel:
a.
Derajat
kepekaan uji klinik
Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2
obat yang diuji tidak begitu besar, maka diperlukan jumlah sampel yang besar.
b.
Keragaman
hasil
Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam
kelompok yang sama, maka makin sedikit jumlah subjek yang diperlukan.
c.
Derajat
kebermaknaan statistik
Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari
uji klinik, maka makin besar pula jumlah subjek yang diperlukan. Salah satu
contoh cara penghitungan besar sampel antara lain, apabila kita ingin
membandingkan 2 jenis obat, A dan B, di mana diperkirakan bahwa prosentase
kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 95%, sementara prosentase
kesembuhan pada pemberian obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipeI) dan
(kesalahan tipe II), maka digunakan cara penghitungan sebagai berikut:
P1x (100-P1) + P2x (100-P2)n
(per group) = x f (α,β)(P1-P2)2
di mana:
n : jumlah
sampel per perlakuan
P1 : prosentase
keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1, misalnya pada contoh
diatasadalah 95%
P2 : prosentase
keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2, misalnya pada contoh diatas
adalah 90%
α : kesalahan
tipe I, misalnya 0,05
β : kesalahan
tipe II, misalnya 0,1f (α, β) = 10,5
Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah:
95x (100-95) + 90x (100-90)n (per group) = x 10,5 (95-90)
95x 5 + 90x 10 = x 10,5 (5) 2 = 578 pasien
Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156 atau
dibulatkan menjadi 1200.
6.
Penyamaran/Pembutaan
(Blinding)
Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah
merahasiakan bentuk terapi yang diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien
dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan yang mana
pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama.
Tujuan utama penyamaran ini adalah untuk menghindari bias (pracondong) pada
penilaian respons terhadap obat yang diujikan.
a.
Single
blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien
b.
Double
blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang
diuji maupun pembandingnya
c.
Triple
blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis
tidak diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya.
Dengan teknik penyamaran/pembutaan
ini bukan berarti tidak ada kontrol terhadap pelaksanaan uji klinik.
Kesehatan dan keselamatan
pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung jawab medik, sehingga
sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (adverse effects) dapat
segera dilakukan penanganan secara medik.
7.
Penilaian
respons
Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang
diberikan harus bersifat objektif, akurat, dan konsisten. Oleh sebab itu
respons yang hendak diukur harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh
jika yang diuji obat antihipertensi, maka penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara
objektif (dengan alat ukur yang sama, misalnya sphigmomanometer air raksa
dengan satuan mmHg) oleh pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi
yang sama pula.
Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai
respons terapetik adalah:
a.
Penilaian
awal (baseline assessment) sebelum
perlakuan
Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya
dicatat secara seksama berdasarkan
parameter-parameter yang telah disepakati. Sebagai contoh adalah tekananndarah,
yang hendaknya telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.
b.
Kriteria-kriteria
utama respons pasien
Di sini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria
utama yang harus dinilai. Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka
kriteria utama penilaian adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang atau
gejala lain sebagai manifestasi demam, dan sebagainya.
c.
Kriteria
tambahan
Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu
obat/perlakuan, tetapi juga menilai segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu
diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat menilai
apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan klinis yang besar juga
terjamin keamanannya. Kriteria tambahan ini umumnya berupa efek samping, mulai
derajat ringan sampai berat, baik yang mengancam kehidupan (life threatening) maupun tidak.
d.
Pemantauan
pasien
Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun
terapetik (secara umum) akan sangat ditentukan oleh ketaaan pasien, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan serta dalam
penelitian hendaknyadapat dikontrol sebaik mungkin.
8.
Analisis
dan interpretasi data
Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik
sangat tergantung pada metode statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika
kriteria untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk "ya" atau
"tidak" (misalnya sembuh-tidak sembuh; hidup-mati; berhasil-gagal)
maka salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chi-square). Untuk
menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2 kelompok uji, maka digunakan uji-t (Student’s t-test). Metode statistika
yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik harus sudah disiapkan saat
pengembangan protokol, untuk menghindari ketidaktepatan uji statistika dan
interpretasi hasil.
F.
Tujuan Penelitian dan Pengembangan Obat
Uji praklinik dan uji klinik bertujuan
untuk membuktikan atau menilai manfaat suatu obat, pengobatan, atau strategi
terapetik tertentu secara objektif dan benar.
Dengan kata lain, kedua uji ini dimaksudkan
untuk menghindari pracondong/bias pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan alami penyakit itu sendiri.
Di samping itu, uji tersebut harus dapat memberikan jawaban yang benar (valid)
mengenai manfaat klinik intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat
harus terbukti bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harusterbukti tidak
bermanfaat.
Berdasarkan pembuktian melalui uji ini,
maka suatu obat, pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat
diterapkan secara luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka
prinsip penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji secara ketat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Obat adalah benda atau zat yang dapat digunakan untuk
merawat penyakit, membebaskan gejala, atau
mengubah proses kimia dalam tubuh.
2.
Untuk dapat menilai secara objektif manfaat dan
keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai metodologi uji klinik dan
praklinik.
3.
Kedua
uji di atas bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat suatu obat,
pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan benar.
B. Saran
Demi kesempurnaan makalah
ini, saran dan kritik dari para pembaca sangat dibutuhkan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Priyambodo. 2007. Dalam Manajemen
Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Drews, J. 2000. Drug
Discovery: a Historical Perspective. New York: Science, vol. 287,
p.1960-1964.
Ganiswara, S.G., dkk (Editor).
1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Bagian
Farmakologi FK UI.
Lin, J.H. and Lu, A.Y.H. 1997. Role of Pharmacokinetics and Metabolism in Drug Discovery and
Development. Pharmacological Reviews, vol. 49 no. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar