FARMAKOLOGI OBAT
(FARMAKOKINETIK DAN
FARMAKODINAMIK)
OLEH
1.
ST. MARHAMAH
2.
ABULKHAIR ABDULLAH
3.
ADE IRMADWIARTI FIRMANSYAH
4.
AGUS SALIM
5.
AHMAD ZAKIR
6.
MUHAMMAD AKBAR SYAMSUL
JURUSAN
FARMASI
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan sebagaiman mestinya. Salam dan shalawat semoga tetap
tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada
umatnya hingga akhir zaman.
Pertama-tama kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan keikhlasannya membimbing kami
sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa yang sebelumnya kami
tidak ketahui. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami
dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini kami buat
dengan sesederhana mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan makalah ini,
kami berharap dan memohon saran serta kritikan dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini ke depannya. Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua.
Samata,
19 Mei 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar................................................................................. i
Daftar
isi........................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................... 1
C. Tujuan
Makalah...................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Sejarah
Perkembangan Obat.................................................. 3
B. Apa
itu Farmakologi?............................................................. 4
C. Apa
itu Farmakokinetik?......................................................... 6
D. Apa
itu Farmakodinamik?..................................................... 17
E.
Kajian Al-Quran................................................................... 22
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 24
B. Saran................................................................................... 25
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai
pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat
reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan
yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.
Farmakologi mempunyai
keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat,
memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama terfokus
pada dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.
Tanpa pengetahuan
farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah untuk bagi
pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan
yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang
tidak mengganggu.
Menurut suatu survey di
Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio
fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek
samping obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta
tersebut, pentingnya pengetahuan farmakologi bagi seorang farmasis.
Dalam makalah ini akan
dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan farmakodinamik)
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan obat?
2. Apa itu farmakologi?
3. Apa itu farmakokinetik?
4. Apa itu farmakodinamik?
C.
Tujuan Makalah
Setelah terselesaikannya makalah
ini, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca terlebih pada
masalah farmakologi di mana farmakologi ini sangat penting untuk dikuasai oleh seorang
farmasis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan
Sejarah Obat
Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani,
maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau
mencegah penyakit berikut gejalanya.[1]
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah
obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m
terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau akar tumbuhan
untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun disimpan dan
dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan
tradisional jamu di Indonesia.[2]
Namun, tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai
obat anti penyakit, ada pula yang pada awalnya digunakan sebagai alat ilmu
sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh. Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun panah penduduk pribumi
Afrika dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula digunakan
sebagai gas racun (mustard gas) pada
perang dunia pertama.[3]
Obat nabati ini digunakan sebagai rebusan atau
ekstrak dengan aktivitas dan efek yang sering kali berbeda-beda tergantung dari
asal tana,an dan cara pembuatannya. Kondisi ini dianggap kurang memuaskan sehingga
lambat laun para ahli kimia mulai mencoba mengisolasi zat-zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Hasil percobaan mereka adalah serangkaian zat kimia,
yang terkenal di antaranya adalah efedrin
dari tanaman Ma Huang (Ephedra vulgaris),
kinin dari kulit pohon kina, atropine dari Atropa belladonna, morfin
dari candu (Papaver somniferum), dan digoksin dari Digitalis lanata, dan masih banyak lagi.[4]
Pada permulaan abad ke-20, obat-obat kimia sintetis
mulai tampak kemajuannya dengan ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor yang kemudian disusul oleh sejumlah obat
lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan
kemoterapeutika sulfanilamide (1935)
dan penisilin (1940).[5]
Sejak tahun 1945, ilmu kimia, fisika, dan kedokteran
berkembang pesat dan hal ini menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis
obat-obat baru. Menurut taksiran, lebih kurang 80% dari semua obat yang kini
digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa terakhir.[6]
B.
Farmakologi
Obat
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai
pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa
ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari
manfaat dan risiko penggunaan obat.[7]
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang
mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun
fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup.
Untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya,
serta penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu
khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi,
farmakokinetik, farmakodinamik, toksikologi, dan farmakoterapi.[8]
Farmakologi sebagai ilmu berbeda dari ilmu lain
secara umum pada keterkaitannya yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik.[9]
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan
farmasi, yaitu ilmu mengenai cara membuat, memformulasi, menyimpan, dan
menyediakan obat.[10]
Farmakologi terutama terfokus pada dua sub, yaitu
farmakodinamik dan farmakokinetik. Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat
yang diberikan pada suatu makhluk, yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi,
dan ekskresi. Sub farmakologi ini erat sekali hubungannya dengan ilmu kimia dan
biokimia. Farmakodinamik menyangkut pengaruh obat terhadap sel hidup, organ
atau makhluk, secara keseluruhan erat berhubungan dengan fisiologi, biokimia,
dan patologi. Farmakokinetik maupun farmakodinamik obat diteliti terlebih
dahulu pada hewan sebelum diteliti pada manusia dan disebut sebagai farmakologi
eksperimental.[11]
C.
Farmakokinetik
Obat
Kerja suatu obat merupakan hasil dari banyak sekali
proses dan kebanyakan proses sangat rumit. Umumnya ini didasari suatu rangkaian
reaksi yang dibagi dalam tiga fase:[12]
1.
Fase farmaseutik;
2.
Fase farmakokinetik; dan
3.
Fase farmakodinamik.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap
proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam
darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.[13]
Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses
invasi dan proses eliminasi (evasi). Yang dimaksud dengan invasi ialah
proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu bahan obat ke dalam
organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-proses
yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme,
ekskresi).[14]
Lihat gambar 1.
|
Invasi
|
|
Absorpsi
|
|
Distribusi
|
|
Eliminasi
|
|
Metabolisme
|
|
Ekskresi
|
Gambar
1.
Bagian proses farmakokinetik
1.
Absorpsi
Umumnya
penyerapan obat dari usus ke dalam sirkulasi berlangsung melalui filtrasi,
difusi, atau transport aktif.[15]
Absorpsi
merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung
pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.[16]
Pemakaian
topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal
pada penyakit kulit, dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau
adstringensia, pemakaian bronkholitika dalam bentuk aerosol, penyuntikan
anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal sitostatika ke dalam
kandung kemih.[17]
Keuntungannya
pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan keburukannya
ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.[18]
Pemakaian
parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan
intravena) termasuk juga infuse ditandai oleh:[19]
a.
Dapat diatur dosis yang tepat dan
ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya dalam hal-hal khusus terjadi
adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena itu mengakibatkan
penurunan ketersediaan hayati.
b.
Akibat pengenceran yang cepat dalam
darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar maka persyaratan larutan yang
menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan penyuntikan
subkutan.
c.
Bahan obat mencapai tempat kerja dengan
sangat cepat.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama
dipakai jika faktor waktu yang sangat penting, misalnya dalam keadaan darurat serta
pada pembiusan intravena.[20]
Keburukannya, jika dibandingkan dengan cara
pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban pasien (ketakutan akan
penyuntikan) juga risiko yang tinggi.[21]
Pemakaian
oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena
bentuk obat yang cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu,
kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat
secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorpsi melalui saluran
cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa
lambung. Untuk kasus terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut
yang tahan terhadap cairan lambung.[22]
Pemakaian
rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus
yang tidak mutlak diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat
keadaan darurat. Hal ini disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan
kebanyakan juga sangat rendah.[23]
Karena
itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian
rektal analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di
samping itu, pada pasien yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih
disukai pemakaian rektal sejauh tidak dibutuhkan pemberian parenteral.[24]
2.
Distribusi
Apabila
obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut bersama aliran
darah dalam sistem sirkulasi. Akibat landaian konsentrasi darah terhadap
jaringan, bahan obat mencoba untuk meninggalkan pembuluh darah dan
terdistribusi dalam organisme keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh darah ke
dalam jaringan dan dengan demikian distribusinya, seperti halnya absorpsi,
bergantung pada banyak peubah.[25]
Berdasarkan
fungsinya, organisme dapat dibagi dalam ruang distribusi yang berbeda
(kompartemen):[26]
a.
Ruang intrasel dan
b.
Ruang ekstrasel. (Lihat gambar 2)
Dalam ruang intrasel (sekitar 75% dari bobot badan)
termasuk cairan intrasel dan komponen sel yang padat. Ruang ektrasel (sekitar
22% dari bobot badan) dibagi lagi atas:[27]
a.
Air plasma;
b.
Ruang usus; dan
c.
Cairan transsel.
|
Cairan plasma
|
|
Cairan transsel
|
|
Ruang ekstrasel
|
|
Ruang usus
|
|
Ruang intrasel
|
|
Cairan intrasel
|
|
Komponen sel padat
|
Gambar
2.
Ruang distribusi organisme
Sering kali distribusi obat tidak merata akibat
beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan, misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat
pada protein darah atau jaringan dan lemak.[28]
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma
dengan berbagai ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan
ionic). Ada beberapa macam protein plasma:[29]
a.
Albumin:
mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin
dan asam-asam lemak.
b.
α-glikoprotein:
mengikat
obat-obat biasa.
c.
CBG
(corticosteroid-binding globulin): khusus
mengikat kortikosteroid.
d.
SSBG
(sex steroid-binding globulin): khusus
mengikat hormon kelamin.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa
oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks obat-protein terdisosiasi dengan sangat
cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke jaringan (dengan cara
yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang
dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana
obat/metabolitnya diekskresi ke dalam urin).[30]
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada
di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi
melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena perbedaan pH di
dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih banyak
di luar sel dan obat-obat basa lebih banyak da dalam sel.[31]
Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan
ialah saluran cerna. Senyawa yang diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12
jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam bagian usus yang lebih
dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi senyawa basa dari
darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus halus
(sirkulasi enterogaster).[32]
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi
ialah yang disebut pengarahan obat (drug targetting), artinya membawa bahan
obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan. Efek samping sering terjadi
justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang diinginkan,
ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu
sistem pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke
dalam jaringan yang dituju dan dengan demikian memungkinkan kekhasan kerja yang
diinginkan.[33]
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul
tubuh sendiri maupun makromolekul sintetik atau sel-sel tubuh misalnya
eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan kovalen sitostatika
kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem demikian
sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui
penambahan antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat
diperbaiki.[34]
3.
Metabolisme
Pada dasarnya setiap obat merupakan zat asing bagi
tubuh yang tidak diinginkan karena obat dapat merusak sel dan mengganggu
fungsinya. Oleh karena itu, tubuh akan berupaya merombak zat asing ini menjadi
metabolit yang tidak aktif lagi dan sekaligus bersifat lebih hidrofil agar
memudahkan proses ekskresinya oleh ginjal.[35]
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan
hanya dalam jumlah yang sangat rendah terjadi dalam organ lain (misalnya dalam
usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam darah.[36]
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi,
lalu diangkut melalui sistem pembuluh darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah
lambung-usus ke hati. Dengan pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan,
parenteral, atau rektal (sebagian), sistem porta ini dan hati akan dapat
dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran lambung-usus seluruh atau
sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan apda umumnya
hasil perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka
proses ini disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang
khasiat farmakologinya justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya
reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan beberapa organ lain lebih tepat
disebut bio-transformasi.[37]
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui
ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif umumnya diubah menjadi
inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi
toksik.[38]
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan
reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis,
yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat menjadi inaktif, lebih
aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi
dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam
amino, dan hasilnya menjadi sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak
aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau
reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat
dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil,
sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat endogen pada
reaksi fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut
dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi
fase I dapat juga sudah cukup polar untuk langsung diekskresi lewat ginjal
tanpa harus melalui reaksi fase II lebih dulu.[39]
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi
oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang
disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam endoplasmic
reticulum (mikrosom) hati.[40]
4.
Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan
metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh.
Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia (bobot molekul,
hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.[41]
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh
terutama dilakukan oleh ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Selain itu
ada pula beberapa cara lain, yaitu:[42]
a.
Kulit,
bersama
keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b.
Paru-paru,
melalui
pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol, paraldehida, dan
anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c.
Empedu,
ada
obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya fenolftalein (pencahar).
Ekskresi melalui ginjal melibatkan tiga proses,
yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi
pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.[43]
Filtrasi
glumerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus
protein. Jadi semua obat akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat
protein tetap tinggal dalam darah.[44]
Sekresi
aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi
melalui transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (multidrug-resistance protein) yang terdapat di membran sel epitel
dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organik dan konyugat dan
P-gp untuk kation organik dan zat netral. Dengan demikian terjadi kompetisi
antara asam-asam organik maupun antara basa-basa organik untuk disekresi. [45]
Reabsorpsi
pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion
obat yang larut lemak. Oleh karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan,
maka hal ini dimanfaatkan untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan
suatu obat asam atau obat basa.[46]
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat
gangguan fungsi ginjal. Lain halnya dengan pengurangan fungsi hati yang tidak
dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung berdasarkan
pengurangan kreatinin. Dengan demikian, pengurangan dosis obat pada gangguan
ginjal dapat dihitung.[47]
D.
Farmakodinamik
Obat
Farmakodinamik
ialah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan
peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik
mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis
obat baru.[48]
Kebanyakan
obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat
merupakan komponen makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep
penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua,
obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah
ada.[49]
Tujuan
pokok percobaan farmakologi adalah penjelasan terhadap pertanyaan, apakah
senyawa yang diuji merupakan obat yang bekerja spesifik atau tidak spesifik.[50]
Senyawa
yang bekerja tidak spesifik. Zat berkhasiat ini
mempunyai ciri:[51]
1.
Tidak bereaksi dengan reseptor spesifik;
2.
Karena bekerja hanya pada dosis yang
relatif besar;
3.
Menimbulkan efek yang mirip walaupun
strukturnya berbeda; dan
4.
Kerjanya hampir tidak berubah pada
modifikasi yang tidak terlalu besar.
Dalam kebanyakan hal, khasiatnya berhubungan dengan
sifat lipofilnya. Oleh karena itu, perbedaan kerjanya dapat dijelaskan dengan
koefifien distribusi yang berbeda. Kemungkinan besar kerja senyawa demikian
menyangkut interaksi dengan struktur lipofil organisme, khususnya struktur
membran dalam hal ini fungsi struktur diubah. Yang termasuk dalam obat yang
bekerja tidak spesifik antara lain, anestetika inhalasi, demikian juga zat
desinfektan.[52]
Senyawa
dengan kerja spesifik. Senyawa golongan ini bekerja
melalui interaksi dengan reseptor spesifik. Efeknya sangat bergantung pada
struktur kimia dan dengan demikian bergantung kepada bentuknya, besarnya, dan
pengaturan stereokimia molekul. Selain itu, bergantung juga pada gugus
fungsinya serta distribusi elektronnya. Senyawa demikian berkhasiat dalam
konsentrasi yang lebih kecil daripada senyawa yang bekerja tidak spesifik.
Bahkan perubahan yang sangat kecil pada struktur kimianya dapat sangat
mempengaruhi khasiat farmakologinya. Senyawa yang berkaitan dengan reseptor
yang sama memiliki banyak unsur struktur yang umum yang disebut gugus
farmakofor, dalam tata susun ruang yang sesuai.[53]
Walaupun sudah banyak diketahui tentang efek obat
dalam tubuh manusia, akan tetapi mengenai mekanisme kerjanya belum banyak
dipahami dengan baik.[54]
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat
digolongkan sebagai berikut:[55]
1.
Secara
fisis, misalnya anestetika terbang, laksansia, dan
diuretika osmotis. Aktivitas anestetika inhalasi berhubungan langsung dengan
sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari
membran sel yang karena ini berubah demikian rupa hingga transport normal dari
oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan aktivitas sel terhambat. Akibatnya
adalah hilangnya perasaan. Pencahar osmotis (magnesium dan natrium sulfat)
lambat sekali diresorpsi usus dan melalui proses osmosis menarik air dan
sekitarnya. Volume isi usus bertambah besar dan dengan demikian merupakan
rangsangan mekanis atas dinding usus untuk memicu peristaltic dan mengeluarkan
isinya.
2.
Secara
kimiawi, misalnya antasida lambung dan zat-zat chelasi (chelator). Antasida, seperti natrium bikarbonat, aluminium, dan
magnesium hidroksida dapat mengikat kelebihan asam lambung melalui reaksi
netralisasi kimiawi. Zat-zat chelasi
mengikat ion-ion logam berat pada molekulnya dengan suatu ikatan kimiawi
khusus. Kompleks yang terbentuk tidak toksis lagi dan mudah diekskresikan oleh
ginjal. Contohnya adalah dimerkaprol (BAL), natrium edetat (EDTA), dan
penisilamin (dimetilsistein) yang digunakan sebagai obat rematik.
3.
Melalui
proses metabolisme pelbagai cara, misalnya antibiotika
yang mengganggu pembentukan dinding sel kuman, sintesa protein, atau metabolisme
asam nukleinat. Begitu pula antimikroba mencegah pembelahan inti sel dan
diuretika yang menghambat atau menstimulir proses filtrasi contoh lain adalah
probenesid, suatu obat encok yang dapat menyaingi penisilin dan derivatnya
(antara lain amoksisilin) pada sekresi tubuler, sehingga ekskresinya
diperlambat dan efeknya diperpanjang.
4.
Secara
kompetisi (saingan), di mana dapat dibedakan dua jenis, yakni
kompetisi untuk reseptor spesifik atau untuk enzim.
Ikatan antara obat denga reseptor biasanya terdiri
dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der Waals),
mirip ikatan antara substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.[56]
Yang dimaksud dengan reseptor adalah makromolekul
(biopolimer) khas atau bagiannya dalam organisme, yakni tempat aktif biologi,
tempat obat terikat. Persyaratan untuk interaksi obat-reseptor adalah
pembentukan kompleks obat-reseptor. Apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa
besar terbentuknya bergantung pada afinitas obat terhadap reseptor. Kemampuan
suatu obat untuk menimbulkan suatu rangsang dan dengan demikian efek, setelah
membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas intrinsik. Aktivitas
intrinsik menentukan besarnya efek maksimum yang dicapai oleh masing-masing
senyawa.[57]
Secara farmakodinamik dapat dibedakan dua jenis
antagonisme farmakodinamik, yakni:[58]
1.
Antagonisme
fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik
yang sama tetapi pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin
dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik
dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
2.
Antagonisme
pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem
reseptor yang sama (antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya,
efek histamin yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan
pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama.
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif
atau nonkompetitif.[59]
Antagonisme
kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat
reseptor di tempat ikatan agonis secara reversibel sehingga dapat digeser oleh
agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama.
Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efej yang
sama.[60]
Antagonism
nonkompetitif. Hambatan efek agonis oleh antagonis
nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya,
efek maksimal yang dicapai akan berkurang tetapi afinitas terhadap reseptornya
tidak berubah.[61]
E.
Kajian
Al-Quran
QS. An-Nahl ayat 11:
àMÎ6/Zã /ä3s9 ÏmÎ/ tíö¨9$# cqçG÷¨9$#ur @ϨZ9$#ur |=»uZôãF{$#ur `ÏBur Èe@à2 ÏNºtyJ¨V9$# 3 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 crã¤6xÿtGt ÇÊÊÈ
Artinya: Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
QS.
An-Nahl ayat 11:
§NèO Í?ä. `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨W9$# Å5è=ó$$sù @ç7ß Å7În/u Wxä9è 4 ßlãøs .`ÏB $ygÏRqäÜç/ Ò>#u° ì#Î=tFøC ¼çmçRºuqø9r& ÏmÏù Öä!$xÿÏ© Ĩ$¨Z=Ïj9 3 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ZptUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇÏÒÈ wur (#qÝ¡Î6ù=s? Yysø9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ (#qãKçGõ3s?ur ¨,ysø9$# öNçFRr&ur tbqçHs>÷ès? ÇÍËÈ
Artinya: Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah
obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara mencoba-coba, secara empiris, m
terdahulu mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau akar tumbuhan
untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun disimpan dan
dikembangkan sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat seperti pengobatan
tradisional jamu di Indonesia.
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai
pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya reseptor. Senyawa
ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang mendasari
manfaat dan risiko penggunaan obat.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap
proses yang dilakukan tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik khususnya
mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya dalam
darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.
Farmakodinamik ialah sub farmakologi yang
mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi
obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan
respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar
terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
B.
Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jika terdapat kesalahan pada makalah ini mohon dimaklumi dan kami sangat
membutuhkan saran atau kritikan demi perbaikan makalah kami ke depannya. Terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Mutschler, Ernst. 1999. Dinamika Obat Edisi 5. Bandung: Penerbit ITB.
Syarif, Amir, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Tjay, Tan Hoan, dkk. Obat-Obat Penting Edisi 6. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
[1] Lihat Tan Hoan Tjay dan
Kirana Rahardja, Obat-Obat Penting,
2007, hal. 3
[2] Ibid, hal. 3
[3]
Ibid, hal. 3
[4]
Ibid, hal. 3
[5]
Ibid, hal. 3
[6]
Ibid, hal. 3-4
[7]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 1
[8] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 4
[9]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 1
[10]
Ibid, hal. 1
[11]
Ibid, hal. 1
[12]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 5
[13] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 22
[14] Lihat
Ernst Mutschler, Dinamika Obat, 1999,
hal. 5-6
[15] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 23
[16]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 2
[17]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 5
[18]
Ibid, hal. 7
[19]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 7
[20]
Ibid, hal. 7
[21]
Ibid, hal. 7
[22]
Ibid, hal. 8
[23]
Ibid, hal. 9
[24]
Ibid, hal. 9
[25]
Ibid, hal. 16
[26]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 16
[27]
Ibid, hal. 16
[28] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 27
[29]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 6
[30]
Ibid, hal. 6
[31]
Ibid, hal. 6
[32]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 18
[33]
Ibid, hal. 19
[34]
Ibid, hal. 19
[35] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 24
[36]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 20
[37] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 25
[38]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 8
[39]
Ibid, hal. 8
[40]
Ibid, hal. 8
[41]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 34
[42] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 29-30
[43]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 11
[44]
Ibid, hal. 11
[45]
Ibid, hal. 11
[46]
Ibid, hal. 11
[47]
Ibid, hal. 11
[48]
Ibid, hal. 12
[49]
Ibid, hal. 12
[50]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 52
[51]
Ibid, hal. 52
[52]
Ibid, hal. 52
[53]
Ibid, hal. 52
[54] Lihat
Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-Obat
Penting, 2007, hal. 35
[55]
Ibid, hal. 35
[56]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 17
[57]
Lihat Ernst Mutschler, Dinamika Obat,
1999, hal. 52
[58]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 20
[59]
Lihat Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan
Terapi, 2007, hal. 20
[60]
Ibid, hal. 21
[61]
Ibid, hal. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar