“HIPERSENSITIVITAS TIPE I“
NUR AFNI SRIYULIANA
INDAH INRIYANI MUSTAFA
ABULKHAIR ABDULLAH
MULIANA
ANUGERAH AMALIYAH
DEWI RATNASARI ADRI
FEBRIYANTI HASDAN SALEH
SAMATA – GOWA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur tim penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Regulasi Kosmetik di Negara Maju” dapat diselesaikan yang alhamdulillah tepat
waktu.
Dalam
penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang tim penulis hadapi. Namun
tim penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan
bimbingan dosen dan kerabat, sehingga kendala-kendala yang tim penulis hadapi
teratasi.
Tim
Penulis sadar, penyusunan makalah ini
masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penyusunan makalah
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Harapan
kami, semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi sumbangan pemikiran tersendiri bagi
masyarakat khususnya bagi para mahasiswa sebagai tambahan ilmu dan informasi
terutama dalam pengetahuan mengenai regulasi kosmetik khususnya di negara maju.
Samata, April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL............................................................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..............................................................................................
B.
Rumusan Masalah..........................................................................................
C.
Tujuan...........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Defenisi.........................................................................................................
B.
Etiologi..........................................................................................................
C.
Patofisiologi...................................................................................................
D.
Klasifikasi......................................................................................................
E.
Hipersensitivitas I...........................................................................................
F.
Fase Reaksi...................................................................................................
G.
Tahap Reaksi.................................................................................................
H.
Mediator Primer............................................................................................
I.
Mediator Sekunder........................................................................................
J.
Manifestasi Klinis...........................................................................................
K.
Tanda dan Gejala...........................................................................................
L.
Pemeriksaan Klinis.........................................................................................
M.
Pemeriksaan Penunjang..................................................................................
N.
Diagnostik.....................................................................................................
O.
Terapi............................................................................................................
P.
Prognosis.......................................................................................................
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................................
B.
Saran.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara
aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh
sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan
differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk
menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana
suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh
menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme
reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun
pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini
berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin
yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel
leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di
permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung
serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi
akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa
nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos
dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan
diare.
Selain itu,
sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama mak
anan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier
yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi
akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu,
sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum,
hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi.
Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang
dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi
histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil
akan sangat meningkat melebihi normal.
B.
Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang akan dibahas pada makalah ini adalah:
1.
Defenisi Hipersensitivitas
2.
Etiologi Hipersensitivitas
3.
Patofisiologi
Hipersensitivitas
4.
Klasifikasi Hipersensitivitas
5.
Hipersensitivitas Tipe I
6.
Fase Reaksi
7.
Tahap Reaksi
8.
Mediator Primer
9.
Mediator Sekunde
10.
Manifestasi Klinis
11.
Tanda dan Gejala
12.
Pemeriksaan Klinis
13.
Pemeriksaan Penunjang
14.
Diagnostik
15.
Terapi
16.
Prognosis
C.
Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
dan pengetahuan lebih dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan
imunologi khususnya penyakit hipersensitifitas serta untuk memenuhi tugas mata
kuliah Imunologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan
kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi
secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata
lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
B.
Etiologi
Faktor yang
berperan dalam alergi makanan yaitu:
1.
Faktor Internal
a.
Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi: asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya: IgA sekretorik) memudahkan penetrasi
alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan
tertentu.
b.
Genetik berperan dalam alergi
makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi
ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c.
Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
2.
Fakor Eksternal
a.
Faktor pencetus: faktor fisik
(dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari,
olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%;
kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat
tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
C.
Patofisiologi
Saat
pertama kali masuknya alergen (ex. telur) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak
gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda
itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan
memicu aktifnya sel T, di mana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi
2 hal yaitu:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi
sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama
dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung
mengaktifkan antibodi (Ig E) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan
histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam
tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen
akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang
menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan
kematian.
D.
Klasifikasi
1.
Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas
tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam,
mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian
2.
Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas
tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler.
3.
Hipersensitivitas tipe III
Merupakan
hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks
antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai
dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
4.
Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas
tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag.
No.
|
Tipe
|
Mekanisme Imun
|
Gangguan Prototipe
|
1.
|
Tipe Anafilaksis
|
Alergen mengikat silang antibody IgE ® pelepasan
amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel
radang lain
|
Anafilaksis, beberapa bentuk asma bronchial
|
2.
|
Antibodi terhadap antigen jaringan tertentu
|
IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada
permukaan sel fagositosis sel
target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang
diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi
|
Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis,
penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris
|
3.
|
Penyakit Kompleks Imun
|
Kompleks antigen-antibodi
mengaktifkan ®
komplemen menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim
lisosom, radikal bebas oksigen,
dll
|
Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus
sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut
|
4.
|
Hipersensivitas Selular (Lambat)
|
Limfisit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan
sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T
|
Tuberkulosis, dermatitis kontak, penolakan
transplant
|
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang
Diperantarai Secara Imunologis
E.
Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi tipe I
disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul kurang dari 1 jam
sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi
tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun basofil, dan
sifat genetik seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi).
Ketika suatu
alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan oleh makrofag.
Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke permukaannya,
sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells (APC). APC akan
mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan sel Th2 mengeluarkan
mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan
menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-εR di sel
Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu
karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan
basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.
Namun, ketika
alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan dengan IgE yang melekat di
reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini tersusun sedimikian rupa
sehingga membuat semacam jembatan silang (crosslinking) antar
dua IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau multivalen, tidak
bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi serangkaian
mekanisme biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi granulasi
sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-mediator
alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin, faktor
kemotaktik eosinofil, dan platelet activating factor (PAF). Selain itu,
peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel
Mast untuk membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4,
prostaglandin dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini
diperkirakan adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos,
bronkokonstriksi, vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas
vaskular, edema pada mukosa dan hipersekresi.
Terdapat juga
beberapa litertaur disebutkan bahwa hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu
respons jaringan yang terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan
menit) stelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibody IgE yang
sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang
tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat
terjadi sebagai reaksi local yang benar-benar mengganggu (misalnya rhinitis
alergi) atau sangat melemahkan (asma) atau dapat berpuncak pada suatu gangguan
sistemik yang fatal (anafilaksis).
F.
Fase Reaksi
Urutan kejadian
reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:
1.
Fase sensitasi
Yaitu waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R)
pada permukaan sel mast dan basofil.
2.
Fase aktivasi
Yaitu waktu yang
diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast
melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3.
Fase efektor
Yaitu waktu
terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang
dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
G.
Tahap Reaksi
Banyak reaksi
tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara
jelas:
1.
Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vascular, dan spesme
otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit stelah
terpajan oleh allergen dan menghilang setelah 60 menit.
2.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung
selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil
serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan
juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel
mukosa.
H.
Mediator Primer
Setelah pemicuan
IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel mast dilepaskan
untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamin, yang
merupakan mediator praformasi terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vascular, vasodilatasi, bronkokonstriksi, dan meningkatnya
sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosine
(menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta factor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks
granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya triptase).
Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan
factor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya), C3a).
I.
Mediator Sekunder
Mediator ini
mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid
dihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid
membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya, asam
arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan
prostaglandin.
Leukotrien berasal
dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam arakhidonat dan sangat
penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien tipe C4
dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada dasar molar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif daripada
histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk
neutrofil, eosinofil dan monosit.
Prostaglandin D2
adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam
sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan
sekresi mucus.
Faktor
pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi
trombosit, pelepasan histamin, dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh
aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolism asam
arakhidonat.
Sitokin yang
diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat
poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel
B.
J.
Manifestasi Klinis
Reaksi tipe 1
dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi local. Seringkali hal
ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat
(misalnya bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan
anafilaksis. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak),
dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring
dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat
terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaksis), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kemtian dalam beberapa menit.
Reaksi local
biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan
jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
Kerentanan
terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetic, dan
istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap
reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial
(seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi
serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi
menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q
yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.
K.
Tanda dan Gejala
Reaksi tipe
I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran
pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal
biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).
L.
Pemeriksaan Fisik
1.
Inspeksi: apakah ada
kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.
2.
Palpasi: ada nyeri tekan pada
kemerahan.
3.
Perkusi: mengetahui apakah diperut
terdapat udara atau cairan.
4.
Auskultasi: mendengarkan suara
napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi
usunya cencerung lebih meningkat).
M.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Uji kulit: sebagai pemerikasaan
penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah,
bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).
2.
Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau
500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3%
sering ditemukan pada alergi makanan.
3.
IgE total dan spesifik: harga normal
IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada
umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi
parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4.
Tes intradermal nilainya terbatas,
berbahaya.
5.
Tes hemaglutinin dan antibodi
presipitat tidak sensitif.
6.
Biopsi usus: sekunder dan sesudah
dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan inflamasi / atrofi mukosa
usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop
imunofluoresen ).
7.
Pemeriksaan/ tes D Xylose,
proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8.
Diit coba buta ganda ( Double blind
food chalenge ) untuk diagnosa pasti.
N.
Diagnostik
1.
Gangguan saluran cerna dengan diare dan
atau mual muntah, misalnya: stenosis pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim,
galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis, peptic disease dan
sebagainya.
2.
Reaksi karena kontaminan dan
bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet, sodium
metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella,
Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia,
Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine,
histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin
(keju) dan sebagainya.
3.
Reaksi psikologi.
O.
Terapi
Penanganan
gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1.
Menghindari allergen
2.
Terapi farmakologis
a.
Adrenergik
Yang
termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin (epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol) dan nonkatelomin (efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol). Inhalasi dosis
tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam,
menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan
menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b.
Antihistamin
Obat dari
berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai
jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka
lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c.
Kromolin Sodium
Kromolin
sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog
kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini
tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk
pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
d.
Kortikosteroid
Kortikosteroid
adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena
yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3.
Imunoterapi
Imunoterapi
diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin
dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit
individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih
banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang
mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan
tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar
berapapun
4.
Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin
inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau
angioedema.
P.
Prognosis
Alergi
makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya
imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan
saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan
saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan
berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun
akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya
usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak
mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan
tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau
kacang tanah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Alergi atau
hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya non imunogenik.
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi
alergi, yang timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang
sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi
IgE, sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang cendrung
terkena alergi (atopi).
Reaksi tipe
I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
B.
Saran
Untuk lebih baiknya
makalah kami ke depannya, sangat diharapkan masukan dan kritikan dari para
pembaca. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja
KG. imunologi dasar. Ed 6. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2004
Djuanda, Adhi et al. 2007. Pengetahuan Dasar Imunologi: Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kumar,
Cotran. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7.
Jakarta: EGC.
Marc D, Olson K. 2009. Hypersensitivity Reactions and Methods of
Detection. Neuro Science Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar