Tentang Saya

Statistik

Kamis, 01 Mei 2014

Interaksi Obat-Reseptor

TUGAS KIMIA MEDISINAL
“INTERAKSI OBAT-RESEPTOR”

 








Oleh:
Nama            : Abulkhair Abdullah
NIM             : 70100111001
Kelas            : Farmasi A1



JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


SAMATA-GOWA
2014
1.             Interaksi Obat-Reseptor
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis. Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Teori Reseptor
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan.
a.             Teori Klasik
1)            Crum, Brown dan Fraser (1869), mengaktakan bahwa aktivitas biologis suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat karakteristik.
2)            Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali, kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
3)            Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang interaksi obat reseptor  yaitu corpora non agunt nisi fixate atau obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor. Reseptor biologis timbul bila ada interaksi antara tempat dan struktur dalam tubuh yang karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau obat, yang satu sama yang lainnya merupakan stuktur yang saling mengisi.Reseptor obat digambarkan seperti permukaan logam yang halus dan mirip dengan struktur molekul obat
b.             Teori Pendudukan
1)            Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi reseptor dan obat harus  diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks. Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau  dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis. Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
a)             Rangsangan aktivitas (efek agonis)
b)             Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
2)            Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu:
a)             Pembentukan komplek obat-reseptor
b)             Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur  molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas  dapat menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai berikut:
-                 Afinitas
O + R  <===> komplek OR → respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
-                 Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai timbulnya respon biologis.
O + R <===> O-R → respon (+):  senyawa agonis
(afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)
O + R <===> O-R → respon (-): senyawa antagonis
(afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)
c.              Teori Kecepatan
1)            Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor.
2)            Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya.Di sini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil.
Asosiasi dissolusi
O + R  <===> komplek (OR) —–> respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi  (mengikat reseptor ) dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga terjadi efek pemblokiran.
Pembagian Reseptor Fisiologik
a.             Reseptor enzim
Mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di  membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin/treonin kinase, dan  guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim.
Contoh:
1)            Insulin
2)            Epidergmal growth factor (EGF)
3)            Platelet-derived growth factor (PDGF)
4)            Atrial natriuretic factor (ANF)
5)            Transforming growth factor-beta (TGF-ß)
6)            Sitokin
Ion




                                                                                               


b.             Reseptor kanal ion
Reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligand-gated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh:
1)            Nikotinik
2)            Aminobutirat tipe A (GABA )
3)            Glutamat
4)            Aspartat
5)            A glisin


Ion
 









c.              Reseptor tekait Protein G
Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer.   Protein   G   adalah   penghantar   sinyal   dari   reseptor   di   permukaan   sel   ke   protein   efektor.  Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+  dan K . Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh:
3)            Amina biogenik
4)            Eikosanoid
5)            Hormon-hormon peptida lain
Ion
 













d.             Reseptor  faktor  transkripsi
Mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA  (DNA  binding  domain) yang  berinteraski  secara  spesifik  pada  genom  tertentu  untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh:
1)            Hormon steroid
2)            Hormon tiroid
3)            Vitamin D
4)            Retinoid
Ion













2.             Mekanisme Kerja Senyawa Antagonis
 











Antagonisme adalah peristiwa manakala suatu senyawa menurunkan aksi suatu agonis atau ligan dalam menghasilkan efek Senyawa tersebut dinamakan sebagai antagonis
Jenis antagonisme berdasarkan mekanisme tehadap makromolekul reseptor agonis adalah:
a.              Antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis
b.             Antagonisme melibatkan makromolekul reseptor agonis
Mekanisme antagonisme yang tidak melibatkan makro molekul reseptor:
a.             Antagonisme kimiawi
Antagonisme yang terjadi pada dua senyawa mengalami reaksi kimia pada suatu larutan atau media sehingga mengakibatkan efek obat berkurang.
Contoh: tetrasiklin mengikat secara kelat logam-logam bervalensi 2 dan 3 (Ca, Mg, Al) efek obat berkurang.
b.             Antagonisme farmakokinetika
Antagonisme ini terjadi jika suatu senyawa secara efektif menurunkan konsentrasi obat dalam bentuk aktifnya pada sisi aktif reseptor.
Contoh: fenobarbital induksi enzim pemetabolisme warfarin, konsentrasi warfarin berkurang efek berkurang.
c.              Antagonisme fungsional atau fisiologi
Antagonisme akibat dua agonis bekerja pada dua macam reseptor yang berbeda dan menghasilkan efek saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama, Antagonisme fungsional jika dua macam reseptor yang berbeda tersebut berada dalam sistem sel yang sama.
Contoh: antagonisme antara senyawa histamin dengan obat α1-adrenergik (fenilefrin) pada pembuluh darah vasodilatasi vs vasokonstriksi
Antagonisme fisiologi jika dua macam reseptor tersebut berada pada sistem yang berbeda.
Contoh : antagonisme glikosida jantung (kenaikan TD) dengan dihidralazin (penurunan TD)
Mekanisme Antagonisme Yang Melibatkan Makro Molekul Reseptor
a.             Antagonis kompetitif
1)            Agonis dan antagonis memperebutkan kedudukannya pada reseptor pada sisi ikatan yang sama dengan agonis
2)            Sisi agonis dan antagonis pada reseptor berdekatan, ikatan antagonis pada sisi aktifnya mengganggu secara fisik interaksi agonis dengan sisi aktifnya
3)            Sisi agonis dan antagonis berbeda, namun ikatan antagonis pada sisi aktifnya mempengaruhi reseptor agonis sehingga memungkinkan agonis dan antagonis tidak dapat secara bersamaan berinteraksi dengan reseptor.
Tipe antagonisme ini ada dua yaitu
1)            Antagonis kompetitif terbalikkan (reversibel)
2)            Antagonis kompetitif tak-terbalikkan (irreversibel)
b.             Antagonis non-kompetitif
1)            Agonis dan antagonis berikatan pada waktu yang bersamaan pada daerah selain reseptor
2)            Sebagian proses antagonisme non-kompetitif bersifat tak-terbalikkan oleh agonis, meskipun beberapa ada yang bersifat terbalikkan.  Contoh adalah aksi papaverin terhadap histamin pada reseptor histamin-1 otot polos trakea








DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar: